Oleh : K.H. Hafidz Abdurrahman (Mudir Mahad Syaraful Haramain Bogor)
Ramadhan yang semestinya jadi simbol kesatuan umat terkadang terganggu oleh kasus perbedaan awal dan akhir Ramadhan. Hal ini merupakan masalah yang kerap terjadi di dunia Islam, antara satu negara dengan negara yang lain.
Tentunya di era globalisasi informasi dan kecanggihan teknologi komunikasi dewasa ini, perbedaan tersebut mengusik pikiran kita. Jika siaran langsung shalat tarawih dari Masjid Haram sepanjang bulan Ramadhan dapat diikuti kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Tapi mengapa tak bisa diadakan siaran langsung informasi rukyatul hilal dan kesamaan awal dan akhir Ramadhan? Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi objek pengamatan guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu. Sebab bulan bagi planet bumi kita memang hanya ada satu.
Faktor Penyebab Perbedaan
Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, menurut analisis sebagian pemikir muslim bisa terjadi karena tiga faktor: (1) faktor astronomi, (2) fikih dan (3) faktor politik. Dari ketiga faktor ini, faktor politiklah jelas yang paling dominan.
Secara politik, umat Islam kini hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap kepala negara menentukan awal dan akhir Ramadhannya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan nash-nash syara’. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqaha, nampaknya hanya dijadikan dalil sekunder atau bahkan sekedar justifikasi. Dalil primernya adalah kekuasaan dan fanatisme atas wilayah negara dan bangsa mereka.
Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni. Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 325 juta terpecah dalam sekitar 24 negara? Indonesia, Malaysia, Brunei, yang serumpun pun menjadi negara-negara yang terpisah. Bukankah seharusnya 1,7 milyar kaum muslimin di dunia hidup dalam satu naungan negara, sebagaimana masa peradaban Islam dahulu!
Faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu, termasuk dalam penentuan awal-akhir Ramadhan. Misalnya, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999 sehingga 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 8/12/1999, pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999. Padahal dari segi jarak, Yaman dan Saudi adalah dua wilayah yang berdekatan.
Pada tahun 2012, ada sebagian umat Islam di Indonesia yang berpuasa 1 Ramadhan pada Kamis 19/7/2012, ada yang Jumat 20/7/2012, sedangkan pemerintah kala itu memutuskan puasa pada Sabtu 21/7/2012. Adapun muslim di belahan negeri yang lain (seperti Timur Tengah, Eropa, dan Asia) menetapkan awal puasa Ramadhan Jumat 20/7/2012. Jadi, perbedaan karena faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu dalam puasa Ramadhan.
Problem Mathla’ Modern
–‐——————
Mengenai perbedaan mathla’ (tempat-waktu terbitnya hilal), yang digunakan sebagian kalangan sebagai alasan untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri, sebenarnya merupakan manâth (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji para ulama terdahulu. Fakta saat itu, kaum muslim memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah Khilafah Umayyah atau Abbasiyyah yang teramat luas dalam waktu satu hari, karena sarana komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah. Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla’) digunakan menjadi tidak logis dan mempersulit diri sendiri.
Dalam konsep mathla’, setiap daerah yang berjarak 24 farsakh atau 133 km memiliki mathla’ sendiri. Artinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 133 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tanpa terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu.
Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar, demikian seterusnya. Dengan konsep mathla’ wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu, tentu akan disintegrasi menjadi 39 mathla’.
Karena kesulitan itu sebagian kalangan konon mencipkatan ‘mazhab’ baru yakni wilayah al-hukmi, yakni penyamaan awal dan akhir Ramadhan diserahkan pada negara nasional masing-masing. Pertanyaan kita, apa landasan syar’i yang membolehkan wilayah kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50 wilayatul hukmi? Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk seluruh dunia, sebagaimana masa keemasan Khulafa ar-Rasyidin!
Adapun dalil yang sering digunakan demi membenarkan adanya lebih dari satu mathla’ dalam menentukan awal-akhir Ramadhan adalah riwayat dari Kuraib. Suatu ketika, Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan. Maka ‘Abdullah bin ‘Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, “Kapan kalian melihatnya?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi, “Apakah kamu yang melihatnya?” Aku menjawab, “Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu’awiyah.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kami pun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal.” Aku pun bertanya, “Tidakkah cukup bagimu mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan puasanya?” Ia menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim, 1819).
Jadi, Ibnu ‘Abbas tidak mengakui rukyat Mu’awiyah, dan tidak berpuasa mengikuti puasa Mu’awiyah. Pernyataan tersebut sejatinya tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara’, sebab hanyalah ijtihad Ibnu ‘Abbas dalam memahami hadist “Shûmû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi.” Imam asy-Syaukani rahimahullah dengan teliti menjelaskan:
واعلم أن الحجة إنما هي في المرفوع من رواية ابن عباس لا في اجتهاده الذي فهم عنه الناس والمشار إليه بقوله: هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Ketahuilah, yang menjadi hujjah hanya hadits marfu yang dituturkan Ibnu ‘Abbas saja, sedangkan ijtihad Ibnu ‘Abbas yang dipahami orang dan ditunjukkan dengan perkataannya “Beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami” tidak bisa menjadi hujjah. (Nail al-Authâr, IV/230).
Selain itu, ijtihad Ibnu ‘Abbas ini juga lemah, karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari sejumlah kaum Anshar:
أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ، فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا، فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ، فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
“Kami terhalang melihat hilal Syawal, sehingga pagi harinya tetap berpuasa. Lalu, datang di penghujung siang itu rombongan. Mereka bersaksi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kemarin telah melihat hilal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan mereka membatalkan puasa, kemudian besoknya semua berangkat melaksanakan shalat Id.” (HR. Ahmad, 19675; Ibnu Majah, 1643; dishahihkan Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas telah memerintahkan mereka membatalkan puasa pada hari yang mereka sangka Ramadhan, karena penduduk lain di luar Madinah telah melihat hilal Syawal. Saat ini, sarana informasi sangat canggih, sehingga dalam satu menit, informasi awal-akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Fitri-Adha ini bisa dishare ke seluruh dunia. Kaum muslim pun bisa melaksanakan puasa dan berhari raya di hari yang sama.
Urgensi Rukyat Hilal Global
Sesuai argumentasi terkuat, syariah Islam menjelaskan bahwa rukyat hilal merupakan sabab (ketentuan) dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa dirukyat, maka puasa dilakukan setelah istikmâl (digenapakan) bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Misal, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” (HR. Al-Bukhari 1776; Muslim 1809; At-Tirmidzi 624; An-Nasa’i 2087).
Berdasarkan hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisâb al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, al-Qurthubi, Ibnu Hajar, al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan asy-Syaukani. (Lihat, Majmu’ al-Fatawa, XXV/132; Fathul Bari, IV/158; Tafsir al-Qurthubi, II/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, III/408; Bidayatul Mujtahid, II/557).
Ibnu Rusyd (w. 1198 M) rahimahullah menyampaikan:
إنّ العلماء أجمعوا على أنّ الشهر العربي يكون تسعاً وعشرين، ويكون ثلاثين، وعلى أن الاعتبار في تحديد شهر رمضان إنّما هو الرؤية
Para ulama menyepakati, bulan di kalangan Arab ada dua puluh sembilan dan ada yang tiga puluh hari, namun tolok ukur penentuan bulan Ramadhan hanya berdasarkan rukyat semata (bukan hisab).
Lebih lanjut, ini menunjukan bahwa umat Islam semestinya berpatokan pada rukyat hilal global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur.
Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1941 M) rahimahullah menjelaskan:
إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع
Apabila rukyat hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri yang lain wajib juga berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila informasi rukyat hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara terpercaya yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut mazhab Syafi’i berpendapat lain: Apabila rukyat hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan rukyat ini, karena terdapat perbedaan mathla’. (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, I/550).
Di sisi lain, meski ulama syafi’iyyah berbeda dengan jumhur, ada pula ulama syafi’iyyah lain yang berpedoman pada rukyat global, imam an-Nawawi (w. 1277 M) rahimahullah berkata:
وقال بعض أصحابنا تعم الرؤية في موضع جميع أهل الأرض
Sebagian ulama kalangan kami ada yang berpendapat, satu rukyat berlaku untuk seluruh tempat bagi semua penduduk bumi. (Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, V/197).
Imam asy-Syaukani (w. 1834 M) rahimahullah menyebutkan:
والذي ينبغي اعتماده هو … أنه إذا رآه أهل بلد، لزم أهل البلاد كلها
Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah: apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (rukyat hilal), maka rukyat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain. (Nail al-Authâr, IV/195).
Imam ash-Shan’ani (w. 1768 M) rahimahullah berkata:
فمعنى إذا رأيتموه أي إذا وجدت فيما بينكم الرؤية، فيدل هذا على أن رؤية بلد رؤية لجميع أهل البلاد فيلزم الحكم
Makna dari ungkapan hadits “jika kalian melihatnya” artinya apabila rukyat didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan rukyat pada suatu negeri berlaku bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib. (Subulus Salâm, II/310).
Sayyid Sabiq (w. 2000 M) rahimahullah pun menegaskan:
ذهب الجمهور: إلى أنه لا عبرة باختلاف المطالع، فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته، وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا
Mayoritas ulama berpendapat, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’. Karena itu, kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh umat Islam. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi mereka semuanya. (Fiqh as-Sunnah, I/368).
Kata Syaikh Wahbah az-Zuhaili (w. 2015 M) rahimahullah:
وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية دون تفرقة بين الأقطار
Pendapat jumhur inilah yang kuat menurut saya, sebagai pemersatu ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang, pasalnya kewajiban puasa itu berkaitan dengan rukyat tanpa pembedaan antar wilayah. (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/610; lihat pula al-Hafizh al-Ghumari, Taujîh al-Anzhâr li Tauhîd al-Muslimîn fi al-Shaum wa al-Ifthâr, hal. 19).
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur Jauh (benua Asia) melihat bulan sabit Ramadhan, maka hasil rukyatnya wajib diikuti kaum muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah) tanpa kecuali. Siapapun kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan rukyat hilal maka rukyat tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri sama kedudukannya dengan kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Terjadinya perbedaan pendapat di dalam internal umat Islam dapat ditoleransi, selama termasuk pendapat Islami dan tidak menyebabkan perpecahan di tubuh umat Islam. Sedangkan perbedaan dalam menetapkan awal-akhir Ramadhan ini tergolong yang tidak bisa ditoleransi, sebab berdampak luas pada disintegrasi umat Islam, yaitu kekacauan dan tidak bersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa serta dalam menampakkan syi’ar hari raya. Perbedaan dalam hal ini bukan tergolong rahmat, sebab di dalamnya menyangkut halal-haram, serta perpecahan dunia Islam.
Dari perbedaan awal-akhir Ramadhan ini, kita semua paham pentingnya persatuan umat Islam di seluruh dunia tentunya. Perbedaan awal-akhir Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun-tahun tertentu, sungguh sangat memalukan. Umat Nasrani saja bisa bersatu saat Natal 25 Desember, sebagaimana Yahudi, Budha, Hindu, mereka semua kompak dalam kebersamaan hari-hari besar perayaan agama mereka, mengapa umat Islam, sebagai umat terbaik tidak bisa?
Dari sini ada pelajaran penting yang amat berharga, umat Islam sangat memerlukan Institusi politik pemersatu, dengan kekuatan yang sanggup menyatukan Maroko hingga Merauke. Sehingga, ketika melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam.
Imam al-Maziri (w. 1141 M) rahimahullah ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim tentang rukyatul hilal, memberi arahan kepada kita, tentang institusi politik seperti apa yang sanggup mempersatukan umat Islam dalam awal-akhir Ramadhan, ia menjelaskan:
إذا ثبت الهلال عند الخليفة لزم سائر الأمصار الرجوع إلى ما عنده … والفرق بين رؤية الخليفة وغيره أن سائر البلدان لمّا كانت بحكمه فهي كبلد واحد
Jika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu … Sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri. (Al-Mu’lim bi Fawâ`id Muslim, II/44-45). Wallahu a’lam.
==============================