Satu Data

Oleh : Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Profesor Riset Sistem Informasi Spasial – BIG

HILMI.ID – Pada 12 Juni 2019, Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Ini adalah kebijakan menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar instansi pusat dan daerah melalui pemenuhan standar, metadata, interoperabilitas, dan menggunakan kode referensi dan data induk. Begitulah pasal 1 ayat (1) perpres ini.

Sejak lama kita memang sering dibingungkan oleh data yang sama-sama resmi namun berbeda-beda. Tahun 2005, ketika kebijakan pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah akan diberlakukan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta seluruh pemerintah daerah memberikan data luas dan jumlah penduduk masing-masing. Ketika luas daerah itu dijumlahkan, hasilnya konon hampir satu setengah kali luas Indonesia. Kenyataan ini membuat mata kita terbelalak.

Ternyata ada beberapa kesalahan yang dengan mudah dilihat mata telanjang. Misalnya, Provinsi Sumatera Selatan yang telah dimekarkan dengan Provinsi Bangka Belitung, ternyata luasnya masih sama dengan sebelum dimekarkan. Demikian juga luas Provinsi DKI Jakarta, ternyata ada kelebihan satu angka nol. Akhirnya saat itu, Kemenkeu meminta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) – kini telah menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG) – untuk menghitungkan luas daerah berdasarkan data geospasial yang menjadi tugasnya.

Untuk menghitung luas setiap daerah dibutuhkan batas administrasi dan garis pantai. Namun di Bakosurtanal sendiri saat itu, ada berbagai versi data garis pantai.

Seperti diketahui, ada garis pantai pasang tertinggi yang biasa dipakai untuk memastikan sebuah wilayah tidak tergenang saat air pasang. Garis ini juga dipakai Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendefinisikan pulau. Selain itu ada garis pantai surut terendah yang dipakai oleh dunia perhubungan laut untuk memastikan kapal tidak kandas. Di peta Rupabumi Indonesia sendiri digunakan garis pantai muka air rata-rata. Sedang bila orang menurunkan garis pantai dari citra satelit, maka akan didapatkan garis pantai sesaat. Karena pemetaan Indonesia tidak bisa dilakukan serentak dalam satu waktu dan kondisi alam yang sama, maka suka tidak suka akan ada ragam data seperti ini.

Demikian juga ketika Kementerian Perdagangan meminta data produksi beras untuk menghitung berapa banyak yang perlu diimpor. Kementerian Pertanian (Kementan) akan menaksir produksi beras dari luas lahan baku sawah dikalikan asumsi produksi per hektar di beberapa area sampel. Masalahnya tidak sederhana juga menghitung luas lahan baku sawah. Pernah digunakan metode pengukuran dengan GPS oleh mantri yang berjalan keliling sawah. Pernah juga dengan metode mengukur di citra satelit. Yang keliling sawah tidak lengkap karena ada pematang yang sulit dilewati. Sedang yang dengan citra salit terkendala tutupan awan, atau mis-identifikasi karena fase vegetasi sawah yang tidak seragam.

Ragam kualitas dan kemutakhiran ini baru satu hal. Yang lebih menyulitkan adalah legalitas formal. Ada berbagai peraturan yang menyebutkan bahwa suatu data resmi adalah kewenangan tunggal suatu instansi. Contoh, data kemiskinan adalah wewenang Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Masalahnya, data TNP2K tidak dimutakhirkan real time. Bila ada sejumlah orang miskin yang meninggal, pindah ke daerah lain, atau tidak miskin lagi, data jumlah orang miskin itu tidak bisa dimutakhirkan dengan serta merta. Akibatnya, daerah terpaksa hidup dengan dua data. Data real kemiskinan yang mereka hadapi, dan data resmi yang merupakan kewenangan instansi pusat.

Dalam Perpres 39 / 2019 tentang Satu Data ini telah ditegaskan bahwa untuk data statistik, pembinanya adalah BPS, sedang untuk data geospasial pembinanya adalah BIG. Namun sepertinya masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi standar data antar pemangku kepentingan, termasuk kemauan berbagai instansi untuk berbagipakai data tanpa terlalu banyak kendala yang tidak perlu dalam kewenangan, kerahasiaan, kekayaan intelektual hingga biaya penerimaan bukan pajak (PNBP).

Tanpa kemauan bersama untuk mewujudkan satu data yang bermutu dan mudah diakses bagi rakyat, maka mimpi satu data ini akan berubah menjadi mimpi buruk kediktatoran data.

(Harian KR Yogya, 29-8-2019

Menggugat Pesta Demokrasi

Pemilu merupakan acara seremonial-kolosal, sebuah perhelatan akbar yang wajib diselenggarakan secara periodik dalam suatu negara penganut sistem demokrasi. Seluruh manusia seolah diwajibkan untuk turut serta menyukseskan “pesta demokrasi”. Janji-janji keadilan dan kesejahteraan mulai rutin dilakukan, baliho, spanduk pun mulai dipasang, bahkan tidak sedikit para penceramah dalam penyampainnya berkampanye. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwa awal tahun 2014 ini merupakan tahun persaingan politik di Indonesia.